LAPORAN
PRAKTIKUM
EKOLOGI
DASAR
MAKROFAUNA TANAH
Nama : Renny Ambar P
NIM : 1110095000021
Kelompok : 1 (satu)
Semester : 3/A
Asisten Dosen : Dina Anggraini
Tanggal
Praktikum : 19 Oktober 2011
Tanggal Dikumpul : 2 November 2011

PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS
DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanah
tersusun atas empat bahan yaitu mineral, bahan organik, air dan udara.
Bahan-bahan penyusun tanah tersebut jumlahnya masing-masing berbeda untuk
setiap jenis atau lapisan tanah. Di permukaan tanah banyak terdapat makrofauna.
Makrofauna tanah berperan penting dalam proses-proses ekologis yang terjadi di
dalam tanah, seperti dekomposisi, siklus unsur hara dan agregasi tanah.
Kehidupan hewan tanah sangat
bergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu
jenis hewan tanah di suatu daerah sangat ditentukan keadaan daerah itu. Dengan
perkataan lain keberadaan dan kepadatan suatu populasi suatu jenis hewan tanah
disuatu daerah sangat tergantung dari faktor lingkungan, yaitu lingkungan
abiotik dan lingkungan biotik (Suin, 2006).
Faktor lingkungan abiotik secara
besarnya dapat dibagi atas faktor fisika dan
faktor kimia. Faktor fisika antara lain ialah suhu, kadar air, porositas
dan tekstur tanah. Faktor kimia antara lain adalah salinitas, pH, kadar organik
tanah dan unsur-unsur mineral tanah. Faktor lingkungan abiotik sangat
menentukan struktur komunitas hewan-hewan yang terdapat di suatu habitat. Faktor
lingkungan biotik bagi hewan tanah adalah organisme lain yang juga terdapat di
habitatnya seperti mikrofauna, mikroflora, tumbuh-tumbuhan dan golongan hewan
lainnya. Pada komunitas itu jenis-jenis organisme itu saling berinteraksi satu
dengan yang lainnya. Interaksi itu bisa berupa predasi, parasitisme, kompetisi
dan penyakit (Leksono,2007).
Dalam penyebaran makrofauna tanah
lingkungan merupakan suatu sistem kompleks yang berada diluar individu yang
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organisme yang hidup dalam lingkungan
masing-masing. Begitu pula jumlah dan kualitas organisme penghuni di setiap
habitat tidak sama. Perbedaan yang paling mencolok adalah pada ukuran tumbuhan
hijau, karena akan mempengaruhi penyebaran makrofauna disekitarnya. Lingkungan
juga merupakan salah satu bagiannya (Irwan, 1992).
Metode yang digunakan adalah Pitfall
trap merupakan metode yang umum digunakan dalam mengetahui keberadaan
makrofauna tanah. Pitfall trap digunakan karena sangat sederhana dan
cukup efektif dimana memasang perangkap di titik yang telh ditentukan.
1.2.
Tujuan Penelitian
·
Mengumpulkan dan
mengkoleksi makrofauna tanah dengan menggunakan metode perangkap jebakan sumur
(pitfall trap).
·
Menghitung
keanekaragaman dan kelimpahan relatif makrofauna tanah.
·
Membandingkan
keanekaragaman dan kelimpahan relatif jenis-jenis makrofauna tanah pada
komunitas-komunitas yang berbeda.
·
Mengetahui
faktor lingkungan fisik terhadap makrofauna tanah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Tanah
Tanah merupakan suatu sistem terbuka,
artinya sewaktu-waktu tanah itu dapat menerima tambahan bahan dari luar atau
kehilangan bahan-bahan yang telah dimiliki tanah. Sebagai sistem terbuka, tanah
merupakan bagian dari ekosistem dimana komponen-komponen ekosistem tanah,
vegetasi dan hewan saling memberi dan menerima bahan-bahan yang diperlukan
(Hardjowigeno, 2007).
Lingkungan tanah merupakan
lingkungan yang terdiri dari gabungan antara lingkungan abiotik dan lingkungan
biotik. Gabungan dari kedua lingkungan ini menghasilkan suatu wilayah yang
dapat dijadikan sebagai tempat tinggal bagi beberapa jenis makhluk hidup, salah
satunya adalah makrofauna tanah (Hardjowigeno, 2007).
Bagi ekosistem darat, tanah
merupakan titik pemasukan sebagian besar bahan ke dalam tumbuhan melalui
akar-akarnya. Tumbuhan menyerap air, nitrat, fosfat, sulfat, kalium, seng dan
mineral esensi lainnya melalui akar-akar tumbuhan. Dengan semua itu, tumbuhan
mengubah karbon dioksida (masuk melalui stomata daun) menjadi protein,
karbohidrat, lemak, asam nukleat dan vitamin yang dari semuanya itu tumbuhan
dan semua heterotrof bergantung pada suhu dan air dimana tanah merupakan
penentu utama dalam produktivitas bumi (Hardjowigeno, 2007).
2.2.
Fauna Tanah
Fauna tanah atau
hewan tanah merupakan hewan yang hidup di tanah, baik hidup pada permukaan
tanah maupun yang terdapat di dalam tanah. Beberapa fauna tanah seperti
herbivora, ia memakan tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas akarnya, tetapi juga
hidup dari tumbuh-tumbuhan yang sudah mati. Jika telah mengalami kematian,
hewan-hewan tersebut memberi masukkan bagi tumbuhan yang masih hidup, meskipun
ada pula sebagai kehidupan fauna lain (Irwan, 1992).
Fauna tanah merupakan salah satu
komponen tanah. Kehidupan fauna tanah sangat tergantung pada habitatnya, karena
keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah
sangat ditentukan oleh keadaan daerah tersebut. Dengan kata lain, keberadaan
dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat
tergantung pada faktor lingkungan, yaitu lingkungan biotik dan abiotik. Fauna
tanah merupakan bagian darai ekosistem tanah, oleh karena itu dalam mempelajari
ekologi fauna tanah faktor fisika dan faktor kimia tanah selalu diukur (Suin,
2006).
Proses dekomposisi dalam tanah tidak
akan mampu berjalan cepat bila di tunjang oleh kegiatan makro fauna tanah.
Keberadaan makro fauna tanah di dalam tanah sangat tergantung pada kegiatan
energi dan sumber makanan untuk melangsungkan hidupnya, seperti bahan organik
dan biomassa hidup yang semuanya berkaitan dengan aliran siklus karbon dalam
tanah. Dengan ketersediaan energi dan unsur hara bagi makro fauna tanah
tersebut, maka perkembangan dan aktivitas makro fauna tanah akan berlangsung
baik dan timbal baliknya akan memberikan dampak positif bagi kesuburan tanah.
Dalam sistem tanah, interaksi biota tanah tampaknya sulit dihindarkan karena
biota tanah banyak terlibat dalam suatu jaring- jaring makanan dalam tanah
(Leksono, 2007).
Cacing tanah merupakan fauna tanah
yang bermanfaat karena dapat merubah bahan organik kasar menjadi humus. Cacing
tanah memakan bahan organik segar dipermukaan tanah, masuk sambil menyeret
sisa-sisa tanaman ke liangnya, kemudian mengeluarkan kotorannya di permukaan
tanah. Adanya fauna tanah bahan organik kasar yang ada di dalam tanah dapat
menjadi humus. Fauna tanah dapat memperbaiki tata udara tanah dan mengubah
kesuburan tanah serta struktur tanah (Hardjiwigeno ,2007).
2.3.
Makrofauna Tanah
Makrofauna tanah
merupakan kelompok hewan- hewan besar penghuni tanah yang merupakan bagian dari
biodiversitas tanah yang berperan penting dalam memperbaiki sifat fisik, kimia
dan biologi tanah. Dalam dekomposisi bahan organik, makrofauna tanah lebih
banyak berperan dalam proses fragmentasi serta memberikan fasilitas lingkungan
yang baik bagi proses dekomposisi lebih lanjut yang dilakukan oleh kelompok
mikrofauna tanah serta berbagai jenis bakteri dan fungi. Peran makrofauna
lainnya adalah dalam perombakan materi tumbuhan dan hewan mati, pengangkutan
materi organik dari permukaan ke tanah, perbaikan struktur tanah dan proses
pembentukan tanah (Irwan, 1992).
Makrofauna tanah mempunyai peran
yang sangat beragam di dalam habitatnya. Pada ekosistem binaan, keberadaan
dapat bersifat menguntungkan maupun merugikan bagi sistem budidaya. Pada satu
sisi makrofauna tanah berperan menjaga kesuburan tanah melalui perombakan bahan
organik, distribusi hara, peningkatan aeresi tanah dan sebagainnya. Tetapi pada
sisi lain juga dapat berperan sebagai hama berbagai jenis tanaman budidaya.
Dinamika populasi berbagai jenis makrofauna tanah tergantung pada faktor
lingkungan yang mendukungnya, baik berupa sumber makanan, kompetitor, predator
maupun keadaan lingkungan fisika-kimia (Irwan, 1992).
Hakim.dkk (1989) dan Makalew
menjelaskan bahwa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi aktifitas organisme
tanah yaitu : iklim (curah hujan, suhu), tanah (suhu tanah, hara, kelembaban
tanah, kemasaman) dan vegetasi (hutan, padang rumput) serta cahaya matahari
(intensitas cahaya).
2.4.
Faktor Fisik Lingkungan
Suhu tanah merupakan salah satu faktor
fisika tanah yang sangat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah,
dengan demikian suhu tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik
tanah. Fluktuasi suhu tanah lebih rendah dari suhu udara, dan suhu tanah sangat
tergantung dari suhu udara. Suhu tanah lapisan atas mengalami fluktuasi dalam
satu hari satu malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga tergantung pada
keadaan cuaca, topografi daerah dan keadaan tanah (Suin, 2006).
Temperatur sangat mempengaruhi aktivitas
mikrobial tanah. Aktivitas ini sangat terbatas pada temperatur di bawah 10ºC,
laju optimum aktifitas biota tanah yang menguntungkan terjadi pada suhu
18-30ºC. Nitrifikasi berlangsung optimum pada temperatur sekitar 30ºC. Pada
suhu diatas 30ºC lebih banyak unsur K-tertukar dibebaskan pada temperatur
rendah (Hanafiah, 2007).
Pengukuran pH tanah juga sangat di
perlukan dalam melakukan penelitian mengenai makro fauna tanah. Keadaan iklim
daerah dan berbagai tanaman yang tumbuh pada tanahnya serta berlimpahnya
mikroorganisme yang mendiami suatu daerah sangat mempengaruhi keanekaragaman relatif
populasi mikroorganisme. Faktor-faktor lain yang mempunyai pengaruh terhadap
keanekaragaman relatif populasi mikroorganisme adalah reaksi yang berlangsung
di dalam tanah, kadar kelembaban tanah serta kondisi-kondisi serasi (Leksono,
2007).
2.5.
Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman digunakan
untuk mengetahui pengaruh kualitas lingkungan terhadap komunitas makrofauna
tanah. Keanekaragaman spesies menunjukkan jumlah total proporsi suatu spesies
relatif terhadap jumlah total individu yang ada (Leksono, 2007).
Pengaruh kualitas lingkungan terhadap
kelimpahan makrofauna tanah selalu berbeda-beda tergantung pada makro fauna,
karena tiap jenis makrofauna memiliki adaptasi dan toleransi yang berbeda
terhadap habitatnya. Indeks tersebut digunakan untuk memperoleh informasi yang
lebih rinci tentang komunitas makrofauna. Indeks keanekaragaman ditemukan oleh
Shannon-Wiener diacu dalam Begen (2000).
Maguran (1988) menyatakan bahwa kriteria
yang digunakan untuk meninterpretasikan keanekaragaman Shannon-Wiener yaitu :
- H’ < 1,5 : keanekaragaman rendah
- H’ 1,5-3,5 : keanekaragaman sedang
- H’ > 3,5 : keanekaragaman tinggi
2.6.
Indeks Kemerataan
Indeks
kemerataan jenis menunjukkan perataan penyebaran individu dari jenis-jenis
organisme yang menyusun suatu ekosistem. Maguran (1988) menyatakan bahwa
kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan kemerataan Evenness yaitu :
- E’ < 0,3 : kemerataan rendah
- E’ 0,3 – 0,6 : kemerataan sedang
- E’ > 0,6 : kemerataan tinggi
2.7.
Kekayaan Jenis (Species Richness)
Kekayaan jenis
menunjukkan jumlah spesies dalam suatu komunitas yang dipelajari. Untuk
menentukannya perlu dilakukan suatu kajian intensif untuk dapat memperoleh
informasi yang tepat mengenai jumlah spesies yang ada. Semakin banyak jenis
spesies yang ada di suatu daerah, semakin tinggi tingkat kekayaannya.
Maguran (1988) menyatakan bahwa
kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan kemerataan Evenness yaitu :
< 3,5 = kekayaan jenis rendah
3,5 – 5 = kekayaan jenis sedang
> 5 = kekayaan jenis tinggi
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian
3.1.1. Lokasi
Pengamatan
Dibawah pohon depan halaman Pusat Laboratorium Terpadu
(PLT) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.1.2. Waktu Pengamatan
Rabu, 19 Oktober 2011
3.2. Alat
dan Bahan
Alat yang
digunakan dalam penelitian kali ini adalah alat penggali (sekop, linggis),
gelas plastik (5 buah), patok kayu (20 buah), terpal plastik (5 buah), tali
rafia, botol koleksi, soil tester, thermometer, lux meter. Sedangkan
bahan yang digunakan adalah deterjen, air, alkohol 70%, formalin 4%.
3.3. Cara Kerja
3.3.1. Pitfall Trap

![]() |
|||||||||||
![]() |
|||||||||||
![]() |
|||||||||||
![]() |
![]() |
||||||||||
![]() |
|||||||||||
![]() |
|||||||||||
![]() |
Gambar 1. Susunan perangkap jebak pada
setiap titik sampling
Tanah
kemudian digali sedalam gelas plastik hingga sejajar permukaan tanah, lalu dimasukkan
air yang telah dicampurkan dengan deterjan bubuk. Botol plastik yang sudah
terisi air deterjen dimasukkan kedalam masing-masing lima titik. Kemudian di
beri atap berupa terpal plastik agar jebakan terlindung dari air hujan atau
gangguan lain. Dilakukan juga pengukuran faktor fisik lingkungan awal.
3.3.2. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel digunakan metode Hand
Sorting dimana pengambilan sampel dilakukan setiap hari selama 3 hari pagi
dan sore hari. Dan yang diambil dikumpulkan berdasarkan kesamaan ciri untuk
mempermudah melakukan identifikasi. Pada saat pengambilan sample terakhir
dilakukan pengukuran fisik lingkungan akhir.
3.3.3. Identifikasi Sampel
Sampel yang
telah diperoleh kemudian dibawa ke Laboratorium untuk dilakukan proses identifikasi.
Spesimen yang telah ditemukan tersebut diidentifikasikan berdasarkan kesamaan
ciri morfologinya lalu dihitung jumlah spesimen yang ditemukan.
3.4.
Analisis Data
- Kelimpahan relatif (KR)
Kelimpahan Relatif (KR) =
x 100%

·
Indeks keanekaragaman (Diversity
Index)
H’ = -
atau
H’ = 


Pi = 

Keterangan
: ni = jumlah individu tiap jenis
N
= jumlah individu total
H’ = Indeks keanekaragaman
- Indeks Kemerataan (Evenness Index)
E’ =

Keterangan : H’ = Indeks Keanekaragaman
S = Jumlah spesies
E’ = Indeks Kemerataan
- Kekayaan Jenis (Species Richness)

Keterangan : S = Jumlah
jenis
N = Jumlah individu total
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengukuran Faktor Fisik Lingkungan
Tabel
1. Pengukuran Faktor Fisik Lingkungan
Habitat
|
Kelompok
|
Intensitas Cahaya
(klux)
|
Kelembaban
(%)
|
pH tanah
|
Suhu (ºC)
|
||||||||
Tanah
|
Udara
|
Udara
|
Tanah
|
||||||||||
Awal
|
Akhir
|
Awal
|
Akhir
|
Awal
|
Akhir
|
Awal
|
Akhir
|
Awal
|
Akhir
|
Awal
|
Akhir
|
||
Vegetasi
|
1
|
66
|
6,5
|
67
|
74
|
1
|
0,5
|
6,9
|
7
|
30,5
|
27
|
26
|
27
|
2
|
2,6
|
66
|
68
|
58
|
1
|
1
|
6,9
|
7
|
32
|
27
|
28
|
26
|
|
3
|
68
|
6,3
|
64
|
58
|
1
|
1
|
6,9
|
7
|
28
|
27
|
27
|
27
|
|
Rata-rata
|
45,5
|
26,2
|
66
|
63
|
1
|
0,83
|
6,9
|
7
|
30
|
27
|
27
|
26
|
|
Non Vegetasi
|
4
|
73,6
|
63,5
|
63
|
74
|
1
|
0,5
|
6,7
|
7
|
32
|
26
|
31
|
27
|
5
|
29,3
|
0,15
|
67
|
85
|
1
|
1
|
6,9
|
6
|
31
|
26
|
28
|
28
|
|
Rata-rata
|
51,45
|
31,8
|
65
|
79
|
1
|
0,75
|
6,8
|
6.5
|
31
|
26
|
29
|
27
|
Berdasarkan
Tabel 1. dilakukan pengukuran faktor fisik lingkungan pada daerah vegetasi dan
non vegetasi. Intensitas cahaya rata-ratanya diawal dan diakhir pada daerah
vegetasi lebih rendah dibandingkan dengan daerah non vegetasi dikarenakan pada
daerah vegetasi masuknya cahaya terhalang oleh pohon sehingga intensitas
cahayanya lebih kecil di banding cahaya pada daerah non vegetasi (terbuka)
Kelembaban tanah
rata-rata di awal pada daerah vegetasi lebih tinggi dibandingkan daerah non
vegetasi. Hal ini
dikarenakan pada lokasi vegetasi di bawah pohon banyak menghasilkan oksigen dan
air dari dalam akar tanaman besar. Namun kelembaban tanah rata-rata diakhir
pada daerah vegetasi lebih rendah daripada non vegetasi dikarenakan pengukuran
akhir dilakukan sehabis hujan turun sehingga kelembaban tanahnnya lebih tinggi
pada daerah non vegetasi.
Kelembaban udara diawal dan diakhir pada daerah vegetasi
lebih tinggi dibandingkan daerah non vegetasi. Karena pada daerah vegetasi
oksigen yang dihasilkan lebih banyak karena di bawah pohon dibandingkan daerah
non vegetasi. pH tanah diawal dan diakhir pada daerah vegetasi lebih tinggi
dibandingkan di daerah non vegetasi dikarenakan pada daerah vegetasi terdapat
pohon-pohon besar yang pH nya netral sehingga mampu menyerap unsur hara dengan
baik. pH tanah menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tanaman dan
umumnya unsur hara mudah diserap akar tanaman besar pada pH tanah sekitar
nertal (7), karena pada pH tersebut kebanyakan unsur hara mudah larut dalam air
(Hardjowigeno, 2007).
Suhu udara rata-rata diawal pada daerah vegetasi lebih rendah
yaitu 30ºC dibandingkan daerah non vegetasi yaitu 31ºC. Dikarenakan pada daerah
vegetasi berada di bawah naungan pohon sehingga suhunya relatif rendah dan pada
daerah non vegetasi suhunya relatif tinggi karena tidak terdapat naungan
(terbuka).
Suhu berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu merupakan
syarat yang diperlukan organisme untuk hidup dan ada jenis-jenis organisme yang
hanya dapat hidup pada kisaran suhu tertentu (Hardjowigeno, 2007).
Suhu udara rata-rata diakhir pada daerah non vegetasi lebih rendah
yaitu 26ºC dibandingkan pada daerah vegetasi yaitu 27ºC. Hal ini dikarenakan
pengukuran suhu akhir dilakukan setelah hujan turun sehingga suhu udaranya
lebih rendah di daerah non vegetasi tanpa naungan sehingga banyak air hujannya dan
suhu menjadi rendah (semakin dingin).
Suhu tanah rata-rata diawal pada daerah vegetasi lebih
rendah yaitu 27ºC dibandingkan pada suhu non vegetasi yaitu 29ºC. Dikarenakan
pada daerah vegetasi tanahnya lebih lembab sehingga suhu tanahnya lebih rendah
dibandingkan pada daerah non vegetasi. Begitupun suhu tanah diakhir pada daerah
vegetasi lebih rendah juga yaitu 26ºC daripada daerah non vegetasi yaitu 27ºC.
4.2. Spesies Makrofauna di Daerah
Vegetasi dan Non Vegetasi
Tabel
2. Spesies di daerah vegetasi dan non vegetasi
Spesies
|
Nama Spesies
|
Vegetasi
|
Non vegetasi
|
||
Diurnal
|
Non-noctural
|
Diurnal
|
Non-noctural
|
||
1
|
Semut hitam besar
|
27
|
9
|
3
|
9
|
2
|
Semut merah besar
|
2
|
2
|
|
|
3
|
Nyamuk
|
3
|
4
|
|
1
|
4
|
Drosophila
|
2
|
1
|
|
3
|
5
|
Insecta sp.
|
2
|
1
|
3
|
|
6
|
Semut hitam kecil
|
103
|
25
|
12
|
4
|
7
|
Ngengat
|
1
|
|
2
|
4
|
8
|
-
|
2
|
|
|
|
9
|
-
|
1
|
|
|
|
10
|
Lalat
|
1
|
1
|
|
|
11
|
Laba-laba besar
|
|
|
|
1
|
12
|
Laba-laba kecil
|
|
|
4
|
1
|
13
|
-
|
|
|
|
1
|
14
|
Kumbang
|
|
|
1
|
1
|
15
|
-
|
|
|
|
3
|
16
|
Semut merah kecil
|
|
|
19
|
2
|
17
|
-
|
|
|
1
|
|
18
|
-
|
|
|
1
|
|
19
|
-
|
|
|
1
|
|
20
|
-
|
|
|
3
|
|
21
|
Lalat besar
|
|
|
|
1
|
22
|
-
|
|
|
1
|
|
Jumlah
|
144
|
53
|
51
|
31
|
Berdasarkan Tabel 2. spesies yang
didapatkan selama 3 hari pada daerah vegetasi diurnal didapatkan sebanyak 10
spesies dan jumlah individu total sebanyak 144 ekor. Terdapat banyak individu
semut hitam kecil yaitu 103 ekor pada
daerah vegetasi diurnal ini dikarenakan serangga kecil seperti semut lebih aktif
keluar pada malam hari dan individu yang
sedikit ditemukan adalah ngengat, Sp 9 dan lalat yaitu 1 ekor. Pada daerah
vegetasi non-noctural spesies makrofauna tanah yang didapatkan selama 2 hari
sebanyak 7 spesies dan jumlah individu total 53 ekor. Terdapat banyak individu
semut hitam kecil yaitu 25 ekor dan individu yang sedikit ditemukan yaitu
drosophila, insecta sp., dan lalat yaitu 1 ekor. Hal ini terlihat pada vegetasi
diurnal dan non-noctural makrofauna yang sering mundul adalah semut hita kecil dengan
jumlah individu yang sangat banyak dibandingkan dengan spesies lainnya.
Pada daerah non vegetasi diurnal
spesies makrofauna yang didapatkan selama 3 hari yang lebih banyak ditemukan
adalah semut. Terdapat tiga jenis semut pada daerah non vegetasi (berumput)
yaitu semut hitam besar dengan jumlah individu 3 ekor, semut merah kecil dengan
jumlah individu 19 ekor, semut hitam kecil dengan jumlah individu 12 ekor.
Dominannya semut pada daerah non vegetasi (berumput) dikarenakan sifat semut
merupakan predator dan pemakan sisa-sisa tumbuhan. Wilayah non vegetasi atau
berumput merupakan tempat strategis bagi semut membuat sarang untuk koloninya
karena pada tempat tersebut tanah tempat semut bersarang tertutup oleh serasah
dan dapat melindunginya dari fauna lain.
Pada daerah non vegetasi
non-noctural spesies makrofauna yang didapatkan selama 2 hari yang lebih banyak
ditemukan adalah semut. Terdapat tiga jenis semut yang ditemukan pada daerah
non vegetasi non-noctural sama seperti diurnal. Namun jumlah individu tiap
spesiesnya lebih rendah pada daerah non vegetasi non-noctural dibandingkan
diurnal. Disebabkan semut lebih banyak keluar pada malam hari (diurnal)
dibandingkan pada siang hari (non-noctural) karena pada malam hari gelap dan
mampu melindungi semut dari para pemangsanya.
4.3. Komunitas Makrofauna Tanah di
Daerah Vegetasi (Diurnal)
Tabel
3. Komunitas Makrofauna Tanah di Vegetasi (Diurnal)
No
|
Taksa
|
![]() |
KR (%)
|
Pi
|
ln Pi
|
Pi x ln Pi
|
1.
|
Semut hitam besar
|
27
|
18,75%
|
0,1875
|
-1,673
|
-0,313
|
2.
|
Semut merah besar
|
2
|
1,39%
|
0,0139
|
-4,275
|
-0,059
|
3.
|
Nyamuk
|
3
|
2,08%
|
0,0208
|
-3,872
|
-0,08
|
4.
|
Drosophila
|
2
|
1,39%
|
0,0139
|
-4,275
|
-0,059
|
5.
|
Insecta sp.
|
2
|
1,39%
|
0,0139
|
-4,275
|
-0,059
|
6.
|
Semut hitam kecil
|
103
|
71,53%
|
0,7153
|
-0,335
|
-0,239
|
7.
|
Ngengat
|
1
|
0,69%
|
0,0069
|
-4,976
|
-0,034
|
8.
|
Sp
8
|
2
|
1,39%
|
0,0139
|
-4,275
|
-0,059
|
9.
|
Sp 9
|
1
|
0,69%
|
0,0069
|
-4,976
|
-0,034
|
10.
|
Lalat
|
1
|
0,69%
|
0,0069
|
-4,976
|
-0,034
|
|
![]() |
144
|
|
|
|
-0,97
|
|
H’ = 0,97
|
|||||
|
|
|
E’ = H’/ln S = 0,42
|
|||
![]() ![]() |
Berdasarkan Tabel 3. didapatkan data
taksa-taksa yang diperoleh dari hasil pitfall trap pada daerah vegetasi
diurnal yang ditemukan sebagian besar adalah serangga. Serangga yang paling
banyak ditemukan adalah semut hitam kecil dengan kelimpahan relatif mencapai
71,35%. Taksa terbesar kedua yang ditemukan adalah semut hitam besar dengan
kelimpahan relatif sebesar 18,75%. Dari hasil tersebut bahwa semut hitam
merupakan makrofauna tanah yang dominan pada daerah vegetasi diurnal.
Ditemukan tiga jenis semut pada
daerah vegetasi diurnal yaitu semut hitam besar, semut merah besar dan semut
hitam kecil. Semut mendominasi daerah ini dikarenakan sifat semut merupakan
predator dan pemakan sisa-sisa tanaman yang jatuh di tanah. Pada daerah
vegetasi diurnal diperoleh hasil indeks keanekaragamannya sebesar 0,92 yang
berarti indeks keanekaragaman pada daerah vegetasi diurnal adalah
keanekaragamannya rendah (<1,5).
Didapatkan pula indeks kemerataan jenis yang menunjukkan perataan
penyebaran individu dari jenis-jenis organisme yang menyusun suatu ekosistem
sebesar 0,42 yang berarti kemerataan jenisnya tergolong sedang (0,3 – 0,6).
Pada daerah vegetasi diurnal kekayaan jenis yang didapat menunjukkan jumlah
spesies dalam suatu komunitas sebesar 1,810 yang berarti kekayaan jenis pada
vegetasi diurnal tergolong rendah (<3,5)
4.4. Komunitas Makrofauna Tanah di
Daerah Vegetasi (Non-noctural)
Tabel
4. Komunitas Makrofauna Tanah di Vegetasi (Non-noctural)
No
|
Taksa
|
![]() |
KR (%)
|
Pi
|
ln Pi
|
Pi x ln Pi
|
1.
|
Semut hitam besar
|
19
|
35,84%
|
0,3584
|
-1,026
|
-0,367
|
2.
|
Semut merah besar
|
2
|
3,77%
|
0,0377
|
-3,278
|
-0,123
|
3.
|
Nyamuk
|
4
|
7,54%
|
0,0754
|
-2,584
|
-0,194
|
4.
|
Drosophila
|
1
|
1,89%
|
0,0189
|
-3,968
|
-0,074
|
5.
|
Insecta sp.
|
1
|
1,89%
|
0,0189
|
-3,968
|
-0,074
|
6.
|
Semut hitam kecil
|
25
|
47,16%
|
0,4718
|
-0,751
|
-0,354
|
7.
|
Lalat sp.10
|
1
|
1,89%
|
0,0189
|
-3,968
|
-0,074
|
|
![]() |
53
|
|
|
|
-1,26
|
|
H’ = 1,26
|
|||||
|
|
|
E’ = H’/ln S = 0,65
|
|||
![]() ![]() |
Berdasarkan Tabel 4. didapatkan data
taksa-taksa yang diperoleh dari hasil pitfall trap pada daerah vegetasi
non-noctural yang ditemukan sebagian
besar adalah serangga. Serangga yang paling banyak ditemukan adalah semut hitam
kecil dengan kelimpahan relatif mencapai 47,16%. Taksa terbesar kedua yang
ditemukan adalah semut hitam besar seperti halnya pada vegetasi diurnal, semut
hitam besar yang ditemukan dengan kelimpahan relatif sebesar 35,84%. Dari hasil
tersebut bahwa semut hitam merupakan makrofauna tanah yang paling dominan pada
daerah vegetasi non-noctural.
Di daerah vegetasi non-noctural
didapatkan indeks keanekeragaman sebesar 1,26 yang berarti bahwa keanekaragaman
spesies nya tergolong rendah (<1,5). Didapatkan pula indeks kemerataan jenis
yang menunjukkan perataan penyebaran individu dari jenis-jenis organisme yang
menyusun suatu ekosistem sebesar 0,65 yang berarti kemerataan jenisnya
tergolong tinggi (>0,6). Pada daerah vegetasi non-noctural kekayaan jenis
yang didapat menunjukkan jumlah spesies dalam suatu komunitas yaitu sebesar
2,015 yang berarti kekayaan jenis pada vegetasi non-noctural tergolong rendah
(<3,5)
4.5. Komunitas Makrofauna Tanah di
Daerah Non-vegetasi (Diurnal)
Tabel
5. Komunitas Makrofauna Tanah di Non- vegetasi (Diurnal)
No
|
Taksa
|
![]() |
KR (%)
|
Pi
|
ln Pi
|
Pi x ln Pi
|
1.
|
Semut hitam besar
|
3
|
5,88%
|
0,0588
|
-2,833
|
-0,166
|
2.
|
Insecta sp.
|
3
|
5,88%
|
0,0588
|
-2,833
|
-0,166
|
3.
|
Semut hitam kecil
|
12
|
23,53%
|
0,2353
|
-1,447
|
-0,341
|
4.
|
Ngengat
|
2
|
3,92%
|
0,0392
|
-3,239
|
-0,127
|
5.
|
Laba-laba kecil
|
4
|
7,84%
|
0,0784
|
-2,545
|
-0,199
|
6.
|
Kumbang
|
1
|
1,96%
|
0,0196
|
-3,932
|
-0,077
|
7.
|
Semut merah kecil
|
19
|
37,25%
|
0,3725
|
-0,987
|
-0,368
|
8.
|
Sp 17
|
1
|
1,96%
|
0,0196
|
-3,932
|
-0,077
|
9.
|
Sp18
|
1
|
1,96%
|
0,0196
|
-3,932
|
-0,077
|
10.
|
Sp 19
|
1
|
1,96%
|
0,0196
|
-3,932
|
-0,077
|
11.
|
Sp 20
|
3
|
5,88%
|
0,0588
|
-2,833
|
-0,166
|
12.
|
Sp 22
|
1
|
1,96%
|
0,0196
|
-2,833
|
-0,077
|
|
![]() |
51
|
|
|
|
-1,182
|
|
H’ = 1,182
|
|||||
|
|
|
E’ = H’/ln S = 0,476
|
|||
![]() ![]() |
Berdasarkan Tabel 5. didapatkan
hasil makrofauna tanah yang ada pada daerah non vegetasi diurnal. Data
taksa-taksa yang diperoleh dari hasil pitfall trap pada daerah non
vegetasi diurnal yang ditemukan sebagian
besar adalah serangga. Serangga yang paling banyak ditemukan adalah semut merah
kecil dengan kelimpahan relatif mencapai 37,25%. Taksa terbesar kedua yang ditemukan
yaitu semut hitam kecil dengan kelimpahan relatifnya sebesar 23,53%. Dari hasil tersebut bahwa semut merupakan
makrofauna tanah yang paling dominan pada daerah nonvegetasi diurnal. Semut
paling dominan pada daerah non vegetasi (berumput) dikarenakan tempatnya yang
strategis bagi semut membuat sarang untuk koloninya karena pada tempat tersebut
tanah tempat semut bersarang tertutup oleh serasah dan dapat melindunginya dari
serangan fauna lain.
Di daerah non vegetasi diurnal
didapatkan indeks keanekeragaman sebesar 1,182 yang berarti bahwa keanekaragaman
spesiesnya tergolong rendah (<1,5). Didapatkan pula indeks kemerataan jenis yang
menunjukkan perataan penyebaran individu dari semua jenis organisme yang
menyusun suatu ekosistem yaitu sebesar 0,476 yang berarti kemerataan jenisnya
tergolong sedang (0,3 – 0,6). Pada daerah non vegetasi diurnal kekayaan jenis
yang didapat menunjukkan jumlah spesies dalam suatu komunitas yaitu sebesar
2,799 yang berarti kekayaan jenis pada non vegetasi diurnal tergolong rendah
(<3,5).
4.6. Komunitas Makrofauna Tanah di
Daerah Non Vegetasi (Non-noctural)
Tabel
6. Komunitas Makrofauna Tanah di Non Vegetasi (Non-noctural)
No
|
Taksa
|
![]() |
KR (%)
|
Pi
|
ln Pi
|
Pi x ln Pi
|
1.
|
Semut hitam besar
|
9
|
29,03%
|
0,2903
|
-1,236
|
-0,359
|
2.
|
Nyamuk
|
1
|
3,22%
|
0,0322
|
-3,436
|
-0,111
|
3.
|
Drosophila
|
3
|
9,67%
|
0,0967
|
-2,336
|
-0,226
|
4.
|
Semut hitam kecil
|
4
|
12,90%
|
0,129
|
-2,048
|
-0,264
|
5.
|
Ngengat
|
4
|
12,90%
|
0,129
|
-2,048
|
-0,264
|
6.
|
Laba-laba besar
|
1
|
3,22%
|
0,0322
|
-3,436
|
-0,111
|
7.
|
Laba-laba kecil
|
1
|
3,22%
|
0,0322
|
-3,436
|
-0,111
|
8.
|
Sp 13
|
1
|
3,22%
|
0,0322
|
-3,436
|
-0,111
|
9.
|
Kumbang
|
1
|
3,22%
|
0,0322
|
-3,436
|
-0,111
|
10.
|
Sp 15
|
3
|
9,67%
|
0,0967
|
-2,336
|
-0,226
|
11.
|
Semut merah kecil
|
2
|
6,45%
|
0,0645
|
-2,741
|
-0,176
|
12.
|
Lalat besar
|
1
|
3,22%
|
0,0322
|
-3,436
|
-0,111
|
|
|
31
|
|
|
|
-2,181
|
|
H’ = 2,181
|
|||||
|
|
|
E’ = H’/ln S = 0,878
|
|||
![]() ![]() |
Berdasarkan Tabel 6. didapatkan
hasil makrofauna tanah yang ada pada daerah non vegetasi non nocturall. Data
taksa-taksa yang diperoleh dari hasil pitfall trap pada daerah non vegetasi
non-noctural yang ditemukan sebagian
besar adalah serangga. Serangga yang paling banyak ditemukan adalah semut hitam
besar dengan kelimpahan relatif mencapai 29,03%. Taksa terbesar kedua yang
ditemukan yaitu semut hitam kecil dan ngengat dengan kelimpahan relatifnya sebesar
12,90%. Dari hasil tersebut bahwa semut
hitam merupakan makrofauna tanah yang paling dominan pada daerah non vegetasi
non-noctural.
Di daerah non vegetasi non-noctural
didapatkan indeks keanekeragaman sebesar 2,181 yang berarti bahwa
keanekaragaman spesiesnya tergolong sedang (1,5 – 3,5). Didapatkan pula indeks
kemerataan jenis yang menunjukkan perataan penyebaran individu dari semua jenis
organisme yang menyusun suatu ekosistem yaitu sebesar 0,878 yang berarti kemerataan
jenisnya tergolong tinggi (> 0,6). Pada daerah non vegetasi non-noctural kekayaan
jenis yang didapat menunjukkan jumlah spesies dalam suatu komunitas yaitu
sebesar 3,203 yang berarti kekayaan jenis pada daerah non vegetasi non-noctural
tergolong rendah (<3.5). Karena semakin sedikit jenis spesies yang ada di
suatu daerah, semakin rendah tingkat kekayaannya. Begitupula semakin banyak
jenis spesies yang ada di suatu daerah, semakin tinggi tingkat kekayaannya
(Leksono, 2007).
BAB
V
KESIMPULAN
- Kelimpahan Relatif Terbesar pada daerah vegetasi diurnal yaitu semut hitam kecil dengan KR = 71,53% dan pada daerah vegetasi non-noctural yaitu semut hitam kecil dengan KR = 47,16%
- Kelimpahan Relatif Terbesar pada daerah non vegetasi diurnal yaitu semut merah kecil dengan KR = 37,25% dan daerah non vegetasi non-noctural yaitu semut hitam besar dengan KR = 29,03%
- H’ pada daerah vegetasi baik diurnal maupun non-noctrural menunjukkan keanekaragaman jenis yang rendah (H’ < 1,5).
- H’ pada daerah non vegetasi diurnal menunjukkan keanekaragaman jenis yang rendah (H’<1,5)
- H’ pada daerah non vegetasi non-noctural menunjukkan keanekaragaman jenis yang sedang (1,5 – 3,5)
- RI pada daerah vegetasi dan non vegetasi baik diurnal maupun non-noctural menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong rendah (RI <3,5) .
- Kemerataan jenis pada daerah vegetasi diurnal menunjukkan kemerataan jenis yang tergolong rendah (E’ < 0,3)
- Kemerataan jenis pada daerah vegetasi non-noctural menunjukkan kemerataan jenis yang tergolong sedang (E’ 0,3 – 0,6)
- Kemerataan jenis pada daerah non vegetasi diurnal menunjukkan kemerataan jenis yang tergolong sedang (E’ 0,3 – 0,6)
- Kemerataan jenis pada daerah non vegetasi non-noctural menunjukkan kemerataan jenis yang tergolong tinggi ( E’ > 0,6)
- Pada daerah vegetasi dan non vegetasi baik diurnal maupun non-nocturnal makrofauna yang paling dominan berada dalam ekosistem tersebut adalah semut.
- Faktor fisik lingkungan pada kedua daerah yaitu vegetasi dan non vegetasi berpengaruh terhadap keanekaragaman makrofauna diurnal dan non-noctural.
DAFTAR
PUSTAKA
Hardjowigeno, Sarwono.2007.Ilmu
Tanah.Jakarta : Akademika Pressindo
Hanafiah, Kemas.2005.Dasar-dasar Ilmu Tanah.Jakarta
: PT Raja
Grafindo
Persada
Irwan, Z.D.1992. Prinsip-prinsip Ekologi dan
Organisasi: Ekosistem,
Komunitas
dan Lingkungan.Jakarta : Bumi Aksara.
Leksono,
A.Setyo.2007.Ekologi Pendekatan Deskriptif dan Kuantitatif.
Malang
: Bayumedia
Suin, N.M.2006.Ekologi Hewan Tanah.Jakarta : Bumi
Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar