Selasa, 17 April 2012

MAKROFAUNA TANAH


LAPORAN PRAKTIKUM
EKOLOGI DASAR

MAKROFAUNA TANAH


Nama                           : Renny Ambar P
NIM                            : 1110095000021
Kelompok                   : 1 (satu)
Semester                      : 3/A
Asisten Dosen             : Dina Anggraini
Tanggal Praktikum     : 19 Oktober 2011
Tanggal Dikumpul      : 2 November 2011



PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
 JAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tanah tersusun atas empat bahan yaitu mineral, bahan organik, air dan udara. Bahan-bahan penyusun tanah tersebut jumlahnya masing-masing berbeda untuk setiap jenis atau lapisan tanah. Di permukaan tanah banyak terdapat makrofauna. Makrofauna tanah berperan penting dalam proses-proses ekologis yang terjadi di dalam tanah, seperti dekomposisi, siklus unsur hara dan agregasi tanah.
            Kehidupan hewan tanah sangat bergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis hewan tanah di suatu daerah sangat ditentukan keadaan daerah itu. Dengan perkataan lain keberadaan dan kepadatan suatu populasi suatu jenis hewan tanah disuatu daerah sangat tergantung dari faktor lingkungan, yaitu lingkungan abiotik dan lingkungan biotik (Suin, 2006).
            Faktor lingkungan abiotik secara besarnya dapat dibagi atas faktor fisika dan  faktor kimia. Faktor fisika antara lain ialah suhu, kadar air, porositas dan tekstur tanah. Faktor kimia antara lain adalah salinitas, pH, kadar organik tanah dan unsur-unsur mineral tanah. Faktor lingkungan abiotik sangat menentukan struktur komunitas hewan-hewan yang terdapat di suatu habitat. Faktor lingkungan biotik bagi hewan tanah adalah organisme lain yang juga terdapat di habitatnya seperti mikrofauna, mikroflora, tumbuh-tumbuhan dan golongan hewan lainnya. Pada komunitas itu jenis-jenis organisme itu saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Interaksi itu bisa berupa predasi, parasitisme, kompetisi dan penyakit (Leksono,2007).
            Dalam penyebaran makrofauna tanah lingkungan merupakan suatu sistem kompleks yang berada diluar individu yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan organisme yang hidup dalam lingkungan masing-masing. Begitu pula jumlah dan kualitas organisme penghuni di setiap habitat tidak sama. Perbedaan yang paling mencolok adalah pada ukuran tumbuhan hijau, karena akan mempengaruhi penyebaran makrofauna disekitarnya. Lingkungan juga merupakan salah satu bagiannya (Irwan, 1992).
            Metode yang digunakan adalah Pitfall trap merupakan metode yang umum digunakan dalam mengetahui keberadaan makrofauna tanah. Pitfall trap digunakan karena sangat sederhana dan cukup efektif dimana memasang perangkap di titik yang telh ditentukan.
1.2. Tujuan Penelitian
·         Mengumpulkan dan mengkoleksi makrofauna tanah dengan menggunakan metode perangkap jebakan sumur (pitfall trap).
·         Menghitung keanekaragaman dan kelimpahan relatif makrofauna tanah.
·         Membandingkan keanekaragaman dan kelimpahan relatif jenis-jenis makrofauna tanah pada komunitas-komunitas yang berbeda.
·         Mengetahui faktor lingkungan fisik terhadap makrofauna tanah.











BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanah
            Tanah merupakan suatu sistem terbuka, artinya sewaktu-waktu tanah itu dapat menerima tambahan bahan dari luar atau kehilangan bahan-bahan yang telah dimiliki tanah. Sebagai sistem terbuka, tanah merupakan bagian dari ekosistem dimana komponen-komponen ekosistem tanah, vegetasi dan hewan saling memberi dan menerima bahan-bahan yang diperlukan (Hardjowigeno, 2007).
            Lingkungan tanah merupakan lingkungan yang terdiri dari gabungan antara lingkungan abiotik dan lingkungan biotik. Gabungan dari kedua lingkungan ini menghasilkan suatu wilayah yang dapat dijadikan sebagai tempat tinggal bagi beberapa jenis makhluk hidup, salah satunya adalah makrofauna tanah (Hardjowigeno, 2007).
            Bagi ekosistem darat, tanah merupakan titik pemasukan sebagian besar bahan ke dalam tumbuhan melalui akar-akarnya. Tumbuhan menyerap air, nitrat, fosfat, sulfat, kalium, seng dan mineral esensi lainnya melalui akar-akar tumbuhan. Dengan semua itu, tumbuhan mengubah karbon dioksida (masuk melalui stomata daun) menjadi protein, karbohidrat, lemak, asam nukleat dan vitamin yang dari semuanya itu tumbuhan dan semua heterotrof bergantung pada suhu dan air dimana tanah merupakan penentu utama dalam produktivitas bumi (Hardjowigeno, 2007).
2.2. Fauna Tanah
            Fauna tanah atau hewan tanah merupakan hewan yang hidup di tanah, baik hidup pada permukaan tanah maupun yang terdapat di dalam tanah. Beberapa fauna tanah seperti herbivora, ia memakan tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas akarnya, tetapi juga hidup dari tumbuh-tumbuhan yang sudah mati. Jika telah mengalami kematian, hewan-hewan tersebut memberi masukkan bagi tumbuhan yang masih hidup, meskipun ada pula sebagai kehidupan fauna lain (Irwan, 1992).
            Fauna tanah merupakan salah satu komponen tanah. Kehidupan fauna tanah sangat tergantung pada habitatnya, karena keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat ditentukan oleh keadaan daerah tersebut. Dengan kata lain, keberadaan dan kepadatan populasi suatu jenis fauna tanah di suatu daerah sangat tergantung pada faktor lingkungan, yaitu lingkungan biotik dan abiotik. Fauna tanah merupakan bagian darai ekosistem tanah, oleh karena itu dalam mempelajari ekologi fauna tanah faktor fisika dan faktor kimia tanah selalu diukur (Suin, 2006).
            Proses dekomposisi dalam tanah tidak akan mampu berjalan cepat bila di tunjang oleh kegiatan makro fauna tanah. Keberadaan makro fauna tanah di dalam tanah sangat tergantung pada kegiatan energi dan sumber makanan untuk melangsungkan hidupnya, seperti bahan organik dan biomassa hidup yang semuanya berkaitan dengan aliran siklus karbon dalam tanah. Dengan ketersediaan energi dan unsur hara bagi makro fauna tanah tersebut, maka perkembangan dan aktivitas makro fauna tanah akan berlangsung baik dan timbal baliknya akan memberikan dampak positif bagi kesuburan tanah. Dalam sistem tanah, interaksi biota tanah tampaknya sulit dihindarkan karena biota tanah banyak terlibat dalam suatu jaring- jaring makanan dalam tanah (Leksono, 2007).
            Cacing tanah merupakan fauna tanah yang bermanfaat karena dapat merubah bahan organik kasar menjadi humus. Cacing tanah memakan bahan organik segar dipermukaan tanah, masuk sambil menyeret sisa-sisa tanaman ke liangnya, kemudian mengeluarkan kotorannya di permukaan tanah. Adanya fauna tanah bahan organik kasar yang ada di dalam tanah dapat menjadi humus. Fauna tanah dapat memperbaiki tata udara tanah dan mengubah kesuburan tanah serta struktur tanah (Hardjiwigeno ,2007).
2.3. Makrofauna Tanah
            Makrofauna tanah merupakan kelompok hewan- hewan besar penghuni tanah yang merupakan bagian dari biodiversitas tanah yang berperan penting dalam memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Dalam dekomposisi bahan organik, makrofauna tanah lebih banyak berperan dalam proses fragmentasi serta memberikan fasilitas lingkungan yang baik bagi proses dekomposisi lebih lanjut yang dilakukan oleh kelompok mikrofauna tanah serta berbagai jenis bakteri dan fungi. Peran makrofauna lainnya adalah dalam perombakan materi tumbuhan dan hewan mati, pengangkutan materi organik dari permukaan ke tanah, perbaikan struktur tanah dan proses pembentukan tanah (Irwan, 1992).
            Makrofauna tanah mempunyai peran yang sangat beragam di dalam habitatnya. Pada ekosistem binaan, keberadaan dapat bersifat menguntungkan maupun merugikan bagi sistem budidaya. Pada satu sisi makrofauna tanah berperan menjaga kesuburan tanah melalui perombakan bahan organik, distribusi hara, peningkatan aeresi tanah dan sebagainnya. Tetapi pada sisi lain juga dapat berperan sebagai hama berbagai jenis tanaman budidaya. Dinamika populasi berbagai jenis makrofauna tanah tergantung pada faktor lingkungan yang mendukungnya, baik berupa sumber makanan, kompetitor, predator maupun keadaan lingkungan fisika-kimia (Irwan, 1992).
            Hakim.dkk (1989) dan Makalew menjelaskan bahwa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi aktifitas organisme tanah yaitu : iklim (curah hujan, suhu), tanah (suhu tanah, hara, kelembaban tanah, kemasaman) dan vegetasi (hutan, padang rumput) serta cahaya matahari (intensitas cahaya).
2.4. Faktor Fisik Lingkungan  
Suhu tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat menentukan kehadiran dan kepadatan organisme tanah, dengan demikian suhu tanah akan menentukan tingkat dekomposisi material organik tanah. Fluktuasi suhu tanah lebih rendah dari suhu udara, dan suhu tanah sangat tergantung dari suhu udara. Suhu tanah lapisan atas mengalami fluktuasi dalam satu hari satu malam dan tergantung musim. Fluktuasi itu juga tergantung pada keadaan cuaca, topografi daerah dan keadaan tanah (Suin, 2006).
Temperatur sangat mempengaruhi aktivitas mikrobial tanah. Aktivitas ini sangat terbatas pada temperatur di bawah 10ºC, laju optimum aktifitas biota tanah yang menguntungkan terjadi pada suhu 18-30ºC. Nitrifikasi berlangsung optimum pada temperatur sekitar 30ºC. Pada suhu diatas 30ºC lebih banyak unsur K-tertukar dibebaskan pada temperatur rendah (Hanafiah, 2007).
Pengukuran pH tanah juga sangat di perlukan dalam melakukan penelitian mengenai makro fauna tanah. Keadaan iklim daerah dan berbagai tanaman yang tumbuh pada tanahnya serta berlimpahnya mikroorganisme yang mendiami suatu daerah sangat mempengaruhi keanekaragaman relatif populasi mikroorganisme. Faktor-faktor lain yang mempunyai pengaruh terhadap keanekaragaman relatif populasi mikroorganisme adalah reaksi yang berlangsung di dalam tanah, kadar kelembaban tanah serta kondisi-kondisi serasi (Leksono, 2007).
2.5. Indeks Keanekaragaman
            Indeks keanekaragaman digunakan untuk mengetahui pengaruh kualitas lingkungan terhadap komunitas makrofauna tanah. Keanekaragaman spesies menunjukkan jumlah total proporsi suatu spesies relatif terhadap jumlah total individu yang ada (Leksono, 2007).
Pengaruh kualitas lingkungan terhadap kelimpahan makrofauna tanah selalu berbeda-beda tergantung pada makro fauna, karena tiap jenis makrofauna memiliki adaptasi dan toleransi yang berbeda terhadap habitatnya. Indeks tersebut digunakan untuk memperoleh informasi yang lebih rinci tentang komunitas makrofauna. Indeks keanekaragaman ditemukan oleh Shannon-Wiener diacu dalam Begen (2000).
Maguran (1988) menyatakan bahwa kriteria yang digunakan untuk meninterpretasikan keanekaragaman Shannon-Wiener yaitu :
  • H’ < 1,5    : keanekaragaman rendah
  • H’ 1,5-3,5 : keanekaragaman sedang
  • H’ > 3,5    : keanekaragaman tinggi
2.6. Indeks Kemerataan
            Indeks kemerataan jenis menunjukkan perataan penyebaran individu dari jenis-jenis organisme yang menyusun suatu ekosistem. Maguran (1988) menyatakan bahwa kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan kemerataan Evenness yaitu :
  • E’ < 0,3       : kemerataan rendah
  • E’ 0,3 – 0,6 : kemerataan sedang
  • E’ > 0,6       : kemerataan tinggi
2.7. Kekayaan Jenis (Species Richness)
            Kekayaan jenis menunjukkan jumlah spesies dalam suatu komunitas yang dipelajari. Untuk menentukannya perlu dilakukan suatu kajian intensif untuk dapat memperoleh informasi yang tepat mengenai jumlah spesies yang ada. Semakin banyak jenis spesies yang ada di suatu daerah, semakin tinggi tingkat kekayaannya.
            Maguran (1988) menyatakan bahwa kriteria yang digunakan untuk menginterpretasikan kemerataan Evenness yaitu :
  •  < 3,5     = kekayaan jenis rendah
  •  3,5 – 5  = kekayaan jenis sedang
  •  > 5        = kekayaan jenis tinggi









BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
3.1.1. Lokasi Pengamatan
Dibawah pohon depan halaman Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
       3.1.2. Waktu Pengamatan
Rabu, 19 Oktober 2011

3.2. Alat dan Bahan
       Alat yang digunakan dalam penelitian kali ini adalah alat penggali (sekop, linggis), gelas plastik (5 buah), patok kayu (20 buah), terpal plastik (5 buah), tali rafia, botol koleksi, soil tester, thermometer, lux meter. Sedangkan bahan yang digunakan adalah deterjen, air, alkohol 70%, formalin 4%.

3.3. Cara Kerja
       3.3.1. Pitfall Trap
        Perangkap jebakan dibuat dengan menggunakan gelas plastik yang dipasang pada lima titik dengan jarak antar plot 1 meter.




































 







              Gambar 1. Susunan perangkap jebak pada setiap titik sampling     
        Tanah kemudian digali sedalam gelas plastik hingga sejajar permukaan tanah, lalu dimasukkan air yang telah dicampurkan dengan deterjan bubuk. Botol plastik yang sudah terisi air deterjen dimasukkan kedalam masing-masing lima titik. Kemudian di beri atap berupa terpal plastik agar jebakan terlindung dari air hujan atau gangguan lain. Dilakukan juga pengukuran faktor fisik lingkungan awal.
       3.3.2. Pengambilan Sampel
        Pengambilan sampel digunakan metode Hand Sorting dimana pengambilan sampel dilakukan setiap hari selama 3 hari pagi dan sore hari. Dan yang diambil dikumpulkan berdasarkan kesamaan ciri untuk mempermudah melakukan identifikasi. Pada saat pengambilan sample terakhir dilakukan pengukuran fisik lingkungan akhir.
3.3.3. Identifikasi Sampel
Sampel yang telah diperoleh kemudian dibawa ke Laboratorium untuk dilakukan proses identifikasi. Spesimen yang telah ditemukan tersebut diidentifikasikan berdasarkan kesamaan ciri morfologinya lalu dihitung jumlah spesimen yang ditemukan.
3.4. Analisis Data
  • Kelimpahan relatif (KR)
Kelimpahan Relatif (KR) =  x 100%
·        Indeks keanekaragaman (Diversity Index)
H’ =  -       atau         H’ =
Pi =
          Keterangan : ni = jumlah individu tiap jenis
                                 N  = jumlah individu total
                                 H’ = Indeks keanekaragaman
  • Indeks Kemerataan (Evenness Index)
E’ =                       
Keterangan : H’ = Indeks Keanekaragaman
                                 S   = Jumlah spesies
                                 E’   = Indeks Kemerataan
  • Kekayaan Jenis (Species Richness)
Keterangan : S = Jumlah jenis
                     N = Jumlah individu total














BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengukuran Faktor Fisik Lingkungan
Tabel 1. Pengukuran Faktor Fisik Lingkungan

Habitat

Kelompok

Intensitas Cahaya
(klux)

Kelembaban
(%)

pH tanah


Suhu (ºC)
Tanah
Udara
Udara
Tanah
Awal
Akhir
Awal
Akhir
Awal
Akhir
Awal
Akhir
Awal
Akhir
Awal
Akhir
Vegetasi
1
66
6,5
67
74
1
0,5
6,9
7
30,5
27
26
27
2
2,6
66
68
58
1
1
6,9
7
32
27
28
26
3
68
6,3
64
58
1
1
6,9
7
28
27
27
27
Rata-rata
45,5
26,2
66
63
1
0,83
6,9
7
30
27
27
26
Non Vegetasi
4
73,6
63,5
63
74
1
0,5
6,7
7
32
26
31
27
5
29,3
0,15
67
85
1
1
6,9
6
31
26
28
28
Rata-rata
51,45
31,8
65
79
1
0,75
6,8
6.5
31
26
29
27

Berdasarkan Tabel 1. dilakukan pengukuran faktor fisik lingkungan pada daerah vegetasi dan non vegetasi. Intensitas cahaya rata-ratanya diawal dan diakhir pada daerah vegetasi lebih rendah dibandingkan dengan daerah non vegetasi dikarenakan pada daerah vegetasi masuknya cahaya terhalang oleh pohon sehingga intensitas cahayanya lebih kecil di banding cahaya pada daerah non vegetasi (terbuka)
Kelembaban tanah rata-rata di awal pada daerah vegetasi lebih tinggi dibandingkan daerah non vegetasi. Hal ini dikarenakan pada lokasi vegetasi di bawah pohon banyak menghasilkan oksigen dan air dari dalam akar tanaman besar. Namun kelembaban tanah rata-rata diakhir pada daerah vegetasi lebih rendah daripada non vegetasi dikarenakan pengukuran akhir dilakukan sehabis hujan turun sehingga kelembaban tanahnnya lebih tinggi pada daerah non vegetasi.
Kelembaban udara diawal dan diakhir pada daerah vegetasi lebih tinggi dibandingkan daerah non vegetasi. Karena pada daerah vegetasi oksigen yang dihasilkan lebih banyak karena di bawah pohon dibandingkan daerah non vegetasi. pH tanah diawal dan diakhir pada daerah vegetasi lebih tinggi dibandingkan di daerah non vegetasi dikarenakan pada daerah vegetasi terdapat pohon-pohon besar yang pH nya netral sehingga mampu menyerap unsur hara dengan baik. pH tanah menentukan mudah tidaknya unsur-unsur hara diserap tanaman dan umumnya unsur hara mudah diserap akar tanaman besar pada pH tanah sekitar nertal (7), karena pada pH tersebut kebanyakan unsur hara mudah larut dalam air (Hardjowigeno, 2007).
Suhu udara rata-rata diawal pada daerah vegetasi lebih rendah yaitu 30ºC dibandingkan daerah non vegetasi yaitu 31ºC. Dikarenakan pada daerah vegetasi berada di bawah naungan pohon sehingga suhunya relatif rendah dan pada daerah non vegetasi suhunya relatif tinggi karena tidak terdapat naungan (terbuka).
Suhu berpengaruh terhadap ekosistem karena suhu merupakan syarat yang diperlukan organisme untuk hidup dan ada jenis-jenis organisme yang hanya dapat hidup pada kisaran suhu tertentu (Hardjowigeno, 2007).
Suhu udara rata-rata diakhir pada daerah non vegetasi lebih rendah yaitu 26ºC dibandingkan pada daerah vegetasi yaitu 27ºC. Hal ini dikarenakan pengukuran suhu akhir dilakukan setelah hujan turun sehingga suhu udaranya lebih rendah di daerah non vegetasi tanpa naungan sehingga banyak air hujannya dan suhu menjadi rendah (semakin dingin).
Suhu tanah rata-rata diawal pada daerah vegetasi lebih rendah yaitu 27ºC dibandingkan pada suhu non vegetasi yaitu 29ºC. Dikarenakan pada daerah vegetasi tanahnya lebih lembab sehingga suhu tanahnya lebih rendah dibandingkan pada daerah non vegetasi. Begitupun suhu tanah diakhir pada daerah vegetasi lebih rendah juga yaitu 26ºC daripada daerah non vegetasi yaitu 27ºC.



4.2. Spesies Makrofauna di Daerah Vegetasi dan Non Vegetasi
Tabel 2. Spesies di daerah vegetasi dan non vegetasi
Spesies
Nama Spesies
Vegetasi
          Non vegetasi
Diurnal
Non-noctural
Diurnal
Non-noctural
1
Semut hitam besar
27
9
3
9
2
Semut merah besar
2
2


3
Nyamuk
3
4

1
4
Drosophila
2
1

3
5
Insecta sp.
2
1
3

6
Semut hitam kecil
103
25
12
4
7
Ngengat
1

2
4
8
 -
2



9
 -
1



10
Lalat
1
1


11
Laba-laba besar



1
12
Laba-laba kecil


4
1
13
 -



1
14
Kumbang


1
1
15
 -



3
16
Semut merah kecil


19
2
17
 -


1

18
 -


1

19
 -


1

20
 -


3

21
Lalat besar



1
22
 -


1

Jumlah
144
53
51
31

            Berdasarkan Tabel 2. spesies yang didapatkan selama 3 hari pada daerah vegetasi diurnal didapatkan sebanyak 10 spesies dan jumlah individu total sebanyak 144 ekor. Terdapat banyak individu semut hitam kecil yaitu 103 ekor  pada daerah vegetasi diurnal ini dikarenakan serangga kecil seperti semut lebih aktif keluar pada malam hari  dan individu yang sedikit ditemukan adalah ngengat, Sp 9 dan lalat yaitu 1 ekor. Pada daerah vegetasi non-noctural spesies makrofauna tanah yang didapatkan selama 2 hari sebanyak 7 spesies dan jumlah individu total 53 ekor. Terdapat banyak individu semut hitam kecil yaitu 25 ekor dan individu yang sedikit ditemukan yaitu drosophila, insecta sp., dan lalat yaitu 1 ekor. Hal ini terlihat pada vegetasi diurnal dan non-noctural makrofauna yang sering mundul adalah semut hita kecil dengan jumlah individu yang sangat banyak dibandingkan dengan spesies lainnya.
            Pada daerah non vegetasi diurnal spesies makrofauna yang didapatkan selama 3 hari yang lebih banyak ditemukan adalah semut. Terdapat tiga jenis semut pada daerah non vegetasi (berumput) yaitu semut hitam besar dengan jumlah individu 3 ekor, semut merah kecil dengan jumlah individu 19 ekor, semut hitam kecil dengan jumlah individu 12 ekor. Dominannya semut pada daerah non vegetasi (berumput) dikarenakan sifat semut merupakan predator dan pemakan sisa-sisa tumbuhan. Wilayah non vegetasi atau berumput merupakan tempat strategis bagi semut membuat sarang untuk koloninya karena pada tempat tersebut tanah tempat semut bersarang tertutup oleh serasah dan dapat melindunginya dari fauna lain.
            Pada daerah non vegetasi non-noctural spesies makrofauna yang didapatkan selama 2 hari yang lebih banyak ditemukan adalah semut. Terdapat tiga jenis semut yang ditemukan pada daerah non vegetasi non-noctural sama seperti diurnal. Namun jumlah individu tiap spesiesnya lebih rendah pada daerah non vegetasi non-noctural dibandingkan diurnal. Disebabkan semut lebih banyak keluar pada malam hari (diurnal) dibandingkan pada siang hari (non-noctural) karena pada malam hari gelap dan mampu melindungi semut dari para pemangsanya.
           



4.3. Komunitas Makrofauna Tanah di Daerah Vegetasi (Diurnal)
Tabel 3. Komunitas Makrofauna Tanah di Vegetasi (Diurnal)
No
Taksa
 Individu
KR (%)
Pi
ln Pi
Pi x ln Pi
1.
Semut hitam besar
27
18,75%
0,1875
-1,673
-0,313
2.
Semut merah besar
2
1,39%
0,0139
-4,275
-0,059
3.
Nyamuk
3
2,08%
0,0208
-3,872
-0,08
4.
Drosophila
2
1,39%
0,0139
-4,275
-0,059
5.
Insecta sp.
2
1,39%
0,0139
-4,275
-0,059
6.
Semut hitam kecil
103
71,53%
0,7153
-0,335
-0,239
7.
Ngengat
1
0,69%
0,0069
-4,976
-0,034
8.
 Sp 8
2
1,39%
0,0139
-4,275
-0,059
9.
Sp 9
1
0,69%
0,0069
-4,976
-0,034
10.
Lalat
1
0,69%
0,0069
-4,976
-0,034

 Individu
144



-0,97




H’ = 0,97




 E’  = H’/ln S = 0,42




 = 1,810

            Berdasarkan Tabel 3. didapatkan data taksa-taksa yang diperoleh dari hasil pitfall trap pada daerah vegetasi diurnal yang ditemukan sebagian besar adalah serangga. Serangga yang paling banyak ditemukan adalah semut hitam kecil dengan kelimpahan relatif mencapai 71,35%. Taksa terbesar kedua yang ditemukan adalah semut hitam besar dengan kelimpahan relatif sebesar 18,75%. Dari hasil tersebut bahwa semut hitam merupakan makrofauna tanah yang dominan pada daerah vegetasi diurnal.
            Ditemukan tiga jenis semut pada daerah vegetasi diurnal yaitu semut hitam besar, semut merah besar dan semut hitam kecil. Semut mendominasi daerah ini dikarenakan sifat semut merupakan predator dan pemakan sisa-sisa tanaman yang jatuh di tanah. Pada daerah vegetasi diurnal diperoleh hasil indeks keanekaragamannya sebesar 0,92 yang berarti indeks keanekaragaman pada daerah vegetasi diurnal adalah keanekaragamannya rendah (<1,5).  Didapatkan pula indeks kemerataan jenis yang menunjukkan perataan penyebaran individu dari jenis-jenis organisme yang menyusun suatu ekosistem sebesar 0,42 yang berarti kemerataan jenisnya tergolong sedang (0,3 – 0,6). Pada daerah vegetasi diurnal kekayaan jenis yang didapat menunjukkan jumlah spesies dalam suatu komunitas sebesar 1,810 yang berarti kekayaan jenis pada vegetasi diurnal tergolong rendah (<3,5)
4.4. Komunitas Makrofauna Tanah di Daerah Vegetasi (Non-noctural)
Tabel 4. Komunitas Makrofauna Tanah di Vegetasi (Non-noctural)
No
Taksa
 Individu
KR (%)
Pi
ln Pi
Pi x ln Pi
1.
Semut hitam besar
19
35,84%
0,3584
-1,026
-0,367
2.
Semut merah besar
2
3,77%
0,0377
-3,278
-0,123
3.
Nyamuk
4
7,54%
0,0754
-2,584
-0,194
4.
Drosophila
1
1,89%
0,0189
-3,968
-0,074
5.
Insecta sp.
1
1,89%
0,0189
-3,968
-0,074
6.
Semut hitam kecil
25
47,16%
0,4718
-0,751
-0,354
7.
Lalat sp.10
1
1,89%
0,0189
-3,968
-0,074

  Individu
53



-1,26




H’ = 1,26




E’ = H’/ln S = 0,65




 = 2,015

            Berdasarkan Tabel 4. didapatkan data taksa-taksa yang diperoleh dari hasil pitfall trap pada daerah vegetasi non-noctural  yang ditemukan sebagian besar adalah serangga. Serangga yang paling banyak ditemukan adalah semut hitam kecil dengan kelimpahan relatif mencapai 47,16%. Taksa terbesar kedua yang ditemukan adalah semut hitam besar seperti halnya pada vegetasi diurnal, semut hitam besar yang ditemukan dengan kelimpahan relatif sebesar 35,84%. Dari hasil tersebut bahwa semut hitam merupakan makrofauna tanah yang paling dominan pada daerah vegetasi non-noctural.
            Di daerah vegetasi non-noctural didapatkan indeks keanekeragaman sebesar 1,26 yang berarti bahwa keanekaragaman spesies nya tergolong rendah (<1,5). Didapatkan pula indeks kemerataan jenis yang menunjukkan perataan penyebaran individu dari jenis-jenis organisme yang menyusun suatu ekosistem sebesar 0,65 yang berarti kemerataan jenisnya tergolong tinggi (>0,6). Pada daerah vegetasi non-noctural kekayaan jenis yang didapat menunjukkan jumlah spesies dalam suatu komunitas yaitu sebesar 2,015 yang berarti kekayaan jenis pada vegetasi non-noctural tergolong rendah (<3,5)
4.5. Komunitas Makrofauna Tanah di Daerah Non-vegetasi (Diurnal)
Tabel 5. Komunitas Makrofauna Tanah di Non- vegetasi (Diurnal)
No
Taksa
 Individu
KR (%)
Pi
ln Pi
Pi x ln Pi
1.
Semut hitam besar
3
5,88%
0,0588
-2,833
-0,166
2.
Insecta sp.
3
5,88%
0,0588
-2,833
-0,166
3.
Semut hitam kecil
12
23,53%
0,2353
-1,447
-0,341
4.
Ngengat
2
3,92%
0,0392
-3,239
-0,127
5.
Laba-laba kecil
4
7,84%
0,0784
-2,545
-0,199
6.
Kumbang
1
1,96%
0,0196
-3,932
-0,077
7.
Semut merah kecil
19
37,25%
0,3725
-0,987
-0,368
8.
Sp 17
1
1,96%
0,0196
-3,932
-0,077
9.
Sp18
1
1,96%
0,0196
-3,932
-0,077
10.
Sp 19
1
1,96%
0,0196
-3,932
-0,077
11.
Sp 20
3
5,88%
0,0588
-2,833
-0,166
12.
Sp 22
1
1,96%
0,0196
-2,833
-0,077

  Individu
51



-1,182




H’ = 1,182




E’ = H’/ln S = 0,476




 = 2,799

            Berdasarkan Tabel 5. didapatkan hasil makrofauna tanah yang ada pada daerah non vegetasi diurnal. Data taksa-taksa yang diperoleh dari hasil pitfall trap pada daerah non vegetasi diurnal  yang ditemukan sebagian besar adalah serangga. Serangga yang paling banyak ditemukan adalah semut merah kecil dengan kelimpahan relatif mencapai 37,25%. Taksa terbesar kedua yang ditemukan yaitu semut hitam kecil dengan kelimpahan relatifnya sebesar 23,53%.  Dari hasil tersebut bahwa semut merupakan makrofauna tanah yang paling dominan pada daerah nonvegetasi diurnal. Semut paling dominan pada daerah non vegetasi (berumput) dikarenakan tempatnya yang strategis bagi semut membuat sarang untuk koloninya karena pada tempat tersebut tanah tempat semut bersarang tertutup oleh serasah dan dapat melindunginya dari serangan fauna lain.
            Di daerah non vegetasi diurnal didapatkan indeks keanekeragaman sebesar 1,182 yang berarti bahwa keanekaragaman spesiesnya tergolong rendah (<1,5). Didapatkan pula indeks kemerataan jenis yang menunjukkan perataan penyebaran individu dari semua jenis organisme yang menyusun suatu ekosistem yaitu sebesar 0,476 yang berarti kemerataan jenisnya tergolong sedang (0,3 – 0,6). Pada daerah non vegetasi diurnal kekayaan jenis yang didapat menunjukkan jumlah spesies dalam suatu komunitas yaitu sebesar 2,799 yang berarti kekayaan jenis pada non vegetasi diurnal tergolong rendah (<3,5).
4.6. Komunitas Makrofauna Tanah di Daerah Non Vegetasi (Non-noctural)
Tabel 6. Komunitas Makrofauna Tanah di Non Vegetasi (Non-noctural)
No
Taksa
 Individu
KR (%)
Pi
ln Pi
Pi x ln Pi
1.
Semut hitam besar
9
29,03%
0,2903
-1,236
-0,359
2.
Nyamuk
1
3,22%
0,0322
-3,436
-0,111
3.
Drosophila
3
9,67%
0,0967
-2,336
-0,226
4.
Semut hitam kecil
4
12,90%
0,129
-2,048
-0,264
5.
Ngengat
4
12,90%
0,129
-2,048
-0,264
6.
Laba-laba besar
1
3,22%
0,0322
-3,436
-0,111
7.
Laba-laba kecil
1
3,22%
0,0322
-3,436
-0,111
8.
Sp 13
1
3,22%
0,0322
-3,436
-0,111
9.
Kumbang
1
3,22%
0,0322
-3,436
-0,111
10.
Sp 15
3
9,67%
0,0967
-2,336
-0,226
11.
Semut merah kecil
2
6,45%
0,0645
-2,741
-0,176
12.
Lalat besar
1
3,22%
0,0322
-3,436
-0,111


31



-2,181




H’ = 2,181




E’ = H’/ln S = 0,878




 = 3,203

            Berdasarkan Tabel 6. didapatkan hasil makrofauna tanah yang ada pada daerah non vegetasi non nocturall. Data taksa-taksa yang diperoleh dari hasil pitfall trap pada daerah non vegetasi non-noctural  yang ditemukan sebagian besar adalah serangga. Serangga yang paling banyak ditemukan adalah semut hitam besar dengan kelimpahan relatif mencapai 29,03%. Taksa terbesar kedua yang ditemukan yaitu semut hitam kecil dan ngengat dengan kelimpahan relatifnya sebesar 12,90%.  Dari hasil tersebut bahwa semut hitam merupakan makrofauna tanah yang paling dominan pada daerah non vegetasi non-noctural.
            Di daerah non vegetasi non-noctural didapatkan indeks keanekeragaman sebesar 2,181 yang berarti bahwa keanekaragaman spesiesnya tergolong sedang (1,5 – 3,5). Didapatkan pula indeks kemerataan jenis yang menunjukkan perataan penyebaran individu dari semua jenis organisme yang menyusun suatu ekosistem yaitu sebesar 0,878 yang berarti kemerataan jenisnya tergolong tinggi (> 0,6). Pada daerah non vegetasi non-noctural kekayaan jenis yang didapat menunjukkan jumlah spesies dalam suatu komunitas yaitu sebesar 3,203 yang berarti kekayaan jenis pada daerah non vegetasi non-noctural tergolong rendah (<3.5). Karena semakin sedikit jenis spesies yang ada di suatu daerah, semakin rendah tingkat kekayaannya. Begitupula semakin banyak jenis spesies yang ada di suatu daerah, semakin tinggi tingkat kekayaannya (Leksono, 2007).



           


BAB V
KESIMPULAN
  • Kelimpahan Relatif Terbesar pada daerah vegetasi diurnal yaitu semut hitam kecil dengan KR = 71,53% dan pada daerah  vegetasi non-noctural yaitu semut hitam kecil dengan KR = 47,16%
  • Kelimpahan Relatif Terbesar pada daerah non vegetasi diurnal yaitu semut merah kecil dengan KR = 37,25% dan daerah non vegetasi non-noctural yaitu semut hitam besar dengan KR = 29,03%
  • H’ pada daerah vegetasi baik diurnal maupun non-noctrural menunjukkan keanekaragaman jenis yang rendah (H’ < 1,5).
  • H’ pada daerah non vegetasi diurnal menunjukkan keanekaragaman jenis yang rendah (H’<1,5)
  • H’ pada daerah non vegetasi non-noctural menunjukkan keanekaragaman jenis yang sedang (1,5 – 3,5)
  • RI pada daerah vegetasi dan non vegetasi baik diurnal maupun non-noctural menunjukkan kekayaan jenis yang tergolong rendah (RI <3,5) .
  • Kemerataan jenis pada daerah vegetasi diurnal menunjukkan kemerataan jenis yang tergolong rendah (E’ < 0,3)
  • Kemerataan jenis pada daerah vegetasi non-noctural menunjukkan kemerataan jenis yang tergolong sedang (E’ 0,3 – 0,6)
  • Kemerataan jenis pada daerah non vegetasi diurnal menunjukkan kemerataan jenis yang tergolong sedang (E’ 0,3 – 0,6)
  • Kemerataan jenis pada daerah non vegetasi non-noctural menunjukkan kemerataan jenis yang tergolong tinggi ( E’ > 0,6)
  • Pada daerah vegetasi dan non vegetasi baik diurnal maupun non-nocturnal makrofauna yang paling dominan berada dalam ekosistem tersebut adalah semut.
  • Faktor fisik lingkungan pada kedua daerah yaitu vegetasi dan non vegetasi berpengaruh terhadap keanekaragaman makrofauna diurnal dan non-noctural.

DAFTAR PUSTAKA
            Hardjowigeno, Sarwono.2007.Ilmu Tanah.Jakarta : Akademika Pressindo
            Hanafiah, Kemas.2005.Dasar-dasar Ilmu Tanah.Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada
            Irwan, Z.D.1992. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi: Ekosistem,
Komunitas dan Lingkungan.Jakarta : Bumi Aksara.
Leksono, A.Setyo.2007.Ekologi Pendekatan Deskriptif dan Kuantitatif.
Malang : Bayumedia
            Suin, N.M.2006.Ekologi Hewan Tanah.Jakarta : Bumi Aksara














Tidak ada komentar:

Posting Komentar